GAPURA JATENG | Jakaarta – Wakil Ketua Komisi VIII menyoroti praktek beragama di Indonesia yang menjadi salah satu sorotan dalam berdemokrasi. Kehidupan beragama yang selama ini, diatur oleh Kementerian Agama (Kemenag), menurutnya mencapai kemajuan penting, salah satunya dengan melahirkan konsep moderasi beragama pada 2015.
Singgih mendukung posisi Kemenag sebagai payung seluruh umat beragama, agar selalu hadir sebagai wakil dari negara, dalam penyelesaian persoalan keberagaman, “Terutama yang melibatkan ormas. Di Indonesia, ormas yang merasa dirinya pimpinan umat kadangkala kebablasan dalam mengatur kehidupan beragama,” papar Singgih.
Hal tersebut ia ungkapkan, usai menerima aspirasi warga LDII dari Kabupaten Pati (Jawa Tengah), Kecamatan Sungai Lilin, Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), dan Kecamatan Pulau Laut Utara, Kotabaru (Kalimantan Selatan).
“DPD LDII setempat menaungi pondok-pondok pesantren, yang dibangun untuk membentuk generasi yang berkarakter mulia, paham ilmu agama, dan mandiri. Namun perizinan mereka belum bisa turun, karena pejabat setempat menjadikan rekomendasi ormas dalam membuat keputusan perizinan pondok pesantren,” papar Singgih.
Singgih meminta Kemenag di berbagai level untuk terus membina umat, khusus umat Islam, “Terutama kelompok-kelompok Islam yang dianggap sempalan atau minoritas. Beragama adalah hak yang paling hakiki, atau hak asasi manusia. Untuk itu, Kemenag harus melindungi hak asasi warga negara. Dan juga melakukan pembinaan,” tegas Singgih.
Singgih merujuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang telah mengeluarkan 10 kriteria untuk memutuskan sesat atau tidaknya umat dalam berkeyakinan dan beribadah. Menurutnya, kriteria-kriteria tersebut dapat dipakai standar, “Perbedaan yang sifatnya khilafiyah, cukup diadakan diskusi dan pembinaan, bukan pelarangan beribadah,” imbuhnya.
Ia memberi contoh, bila ada isu negatif mengenai warga LDII, “Silakan menegur pimpinan mereka untuk melakukan pembinaan kepada warganya bukan dengan larang melarang. Otoritas agama meskipun berbentuk ormas, bila membuat keputusan bakal mempengaruhi kehidupan beragama ormas-ormas Islam. Inilah pentingnya Kemenag hadir sebagai penengah,” papar Singgih.
Ia mengingatkan pengabaian toleransi, penghormatan, dan saling menghargai praktik beragama bertentangan dengan Pancasila dan bernegara. Singgih menyarankan sebelum melarang eksistensi ormas beragama, hal yang dilakukan Kemenag atau otoritas lainnya adalah menimbang kontribusi ormas tersebut, “Mari kita lihat sikap mereka terhadap nasionalisme atau kebangsaan. Dilihat pula kontribusinya di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pelestarian lingkungan. Inilah aspek yang juga harus diukur untuk kemaslahatan umum,” tegasnya.
Singgih mengingatkan, pemahaman terhadap ayat atau hadits selalu berbeda. Itulah mengapa moderasi beragama diperlukan. “Jangan sampai Kemenag atau otoritas agama lainnya menjadi otoriter, seharusnya pembinaan itu merangkul bukan memukul,” tegas Singgih.
Ia juga mengingatkan Kemenag sebagai pelindung keberagaman beragama, tidak boleh disetir oleh ormas keagaamaan tertentu, tetapi menjadi pelindung dan pembina seluruh ormas. Sebagai perwakilan negara, Kemenag di daerah-daerah harus bijak dalam menyikapi keputusan-keputusan dari otoritas agama, apalagi dari sesama ormas terhadap ormas keagamaan lainnya.
Gapura Jateng Gerbang dan Perekat Jawa Tengah