Wahid, tukang becak sedang menunggu pelanggan di acara car free day.
Wahid, tukang becak sedang menunggu pelanggan di acara car free day.

Becak yang Terlupakan: Kisah Wahid, Tukang Becak di Banyumas yang Berjuang untuk Bertahan

GAPURA JATENG — Banyumas, sebuah kota kecil yang dulunya dipenuhi suara deru roda becak, kini mulai sepi dari para pengemudi becak. Salah satu tukang becak yang masih setia mengayuh kendaraannya adalah Wahid, seorang pria berusia 63 tahun yang sudah menjadi tukang becak sejak tahun 2021. Meski begitu, perjalanan hidupnya tak semudah yang dibayangkan.

Bagi Wahid, menjadi tukang becak adalah pilihan hidup yang datang setelah pensiun dari pekerjaan sebelumnya. Di usianya yang sudah tak lagi muda, Wahid merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghidupi dirinya. Namun, kenyataan yang dia hadapi tidak semudah apa yang dia bayangkan.

Kehidupan yang Semakin Sulit

Dulu, menjadi tukang becak di Banyumas adalah pekerjaan yang menjanjikan. Di setiap sudut kota, deru roda becak yang membawa penumpang dari satu tempat ke tempat lain adalah pemandangan yang biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, alat transportasi ini mulai terpinggirkan.

Kini, Wahid harus berjuang keras setiap harinya. “Sekarang sudah sulit banget dapat pelanggan,” kata Wahid dengan nada lesu. “Di acara seperti car free day, paling saya dapat 3-5 penumpang. Apalagi hari biasa, kadang dapat, kadang tidak.”

Becak, yang dulunya adalah salah satu sarana transportasi favorit, kini menjadi pilihan terakhir bagi banyak orang. Alternatif transportasi lainnya seperti angkot, bus, BRT, hingga ojek online, kini lebih dipilih masyarakat karena lebih cepat dan praktis. Sementara itu, becak hanya tinggal kenangan bagi sebagian besar orang.

Bertahan dengan Segala Cara

Bagi Wahid, kondisi ini bukanlah hal yang mudah diterima. Namun, ia terus bertahan, meski harus menahan lapar jika tidak mendapatkan penumpang. “Kalau siang belum ada penumpang, ya kami tahan lapar. Meski pagi sudah sarapan di rumah,” tuturnya dengan penuh keikhlasan.

Untuk bertahan hidup, Wahid kadang harus memutar jalur, mencari penumpang ke tempat-tempat yang lebih ramai. Namun, sering kali ia hanya bisa berharap, mengandalkan keberuntungan untuk bertemu dengan penumpang yang membutuhkan jasa becaknya.

Pernah suatu ketika, dia hanya mendapat satu penumpang dalam sehari. Itu pun hanya sekadar perjalanan singkat dengan tarif yang sangat murah. “Paling 10 ribu sudah bisa naik,” ungkap Wahid. Meski tarifnya sangat terjangkau, tidak banyak yang memilih becak sebagai pilihan transportasi utama.

Sebuah Kenangan yang Terlupakan

Bagi banyak orang, becak kini hanya menjadi kenangan masa lalu. Namun, bagi Wahid dan rekan-rekan seprofesinya, becak adalah bagian dari kehidupan yang tak bisa dilepaskan begitu saja. Di balik setiap perjalanan yang ditempuh, ada cerita, ada perjuangan, dan ada harapan agar pekerjaan ini tak hanya menjadi kenangan semata.

Ketika berbicara tentang masa depan becak di Banyumas, Wahid hanya bisa tersenyum miris. “Saya hanya berharap, meski sedikit, becak masih ada. Biar kami masih bisa bekerja dan bertahan,” ujarnya.

Kisah Wahid adalah cermin dari banyak tukang becak lain yang juga merasakan hal serupa. Kehidupan yang semakin sulit, namun mereka tetap berjuang agar tidak terlupakan begitu saja. Dalam dunia yang terus berkembang, kadang kita lupa bahwa di balik perubahan, ada orang-orang yang sedang berjuang untuk tetap bertahan. Seperti Wahid, yang dengan sepenuh hati masih mengayuh becaknya, meski perjalanan semakin sepi.

Facebook Comments Box

Check Also

Bupati Banyumas dan Wakil Gelar Tarling Perdana, Salurkan Bantuan untuk Warga

Gapura Jateng (Banyumas) – Bupati Banyumas Sadewo Tri Lastiono bersama Wakil Bupati Dwi Asih Lintarti …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *