Gapurajateng | Jakarta, 30 /9/24 – Tragedi G30S/PKI yang terjadi pada 30 September 1965 selalu menjadi refleksi kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Gerakan yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) itu berupaya menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan menggantikan ideologi Pancasila dengan komunisme. Peristiwa ini tidak hanya menewaskan para jenderal TNI secara keji, tetapi juga membawa dampak besar pada perjalanan politik dan ideologi Indonesia.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Singgih Tri Sulistiyono, mengungkapkan bahwa peristiwa tersebut merupakan hasil dari konflik ideologis yang telah berlangsung sejak era Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno. Menurutnya, dominasi tiga kekuatan besar, yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (NASAKOM), menciptakan persaingan ketat di kalangan elite politik Indonesia.
“NASAKOM mencoba menyatukan tiga ideologi besar dalam satu nafas kebangsaan, namun di balik itu ada persaingan yang sangat tajam antara kelompok-kelompok yang saling berebut pengaruh. Akhirnya, persaingan ini berujung pada konflik terbuka, dengan PKI mencoba mengambil alih kekuasaan secara paksa,” ujar Singgih.
Dalam pandangannya, Tragedi G30S/PKI juga menjadi bukti nyata dari upaya politik adu domba yang melibatkan kekuatan asing. Konflik ideologi pada masa itu dipengaruhi oleh perseteruan antara Blok Barat yang mengusung liberalisme dan kapitalisme, serta Blok Timur dengan sosialisme dan komunismenya. “Kekuatan-kekuatan asing ini berusaha mengadu domba kekuatan lokal di Indonesia, mendorong bangsa kita untuk berpihak kepada salah satu blok,” tambahnya.
Prof. Singgih menekankan bahwa peristiwa ini memberikan pelajaran penting bagi bangsa Indonesia untuk selalu waspada terhadap pengaruh ideologi ekstrem yang datang dari luar. Pancasila, menurutnya, telah terbukti menjadi landasan yang kuat untuk menjaga persatuan di tengah beragam perbedaan di Indonesia. “Pancasila adalah titik temu yang menyatukan berbagai ideologi di Indonesia. Upaya untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, seperti komunisme, jelas bertentangan dengan prinsip kebangsaan kita,” jelasnya.
Lebih lanjut, Singgih menilai bahwa peristiwa G30S/PKI menegaskan pentingnya kedewasaan dalam berdemokrasi. Bagi bangsa yang plural seperti Indonesia, perbedaan pendapat harus disikapi dengan dialog dan musyawarah, bukan dengan kekerasan atau upaya kudeta. “Demokrasi itu memang tentang perbedaan. Tetapi perbedaan itu harus diselesaikan dengan musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama demi kepentingan nasional,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa bangsa Indonesia harus selalu berhati-hati terhadap politik adu domba yang bisa datang baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Untuk itu, aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara sangat diperlukan. Pancasila harus dijadikan landasan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem hukum, pemerintahan, hingga politik dan demokrasi.
“Jika kita menjalankan Pancasila dengan benar, baik di tingkat pemerintahan maupun di masyarakat, kita akan mampu menjaga persatuan dan tidak mudah terpecah-belah oleh pengaruh-pengaruh ideologis yang ekstrem,” ujar Singgih.
Sebagai penutup, Singgih mengingatkan bahwa tragedi seperti G30S/PKI harus dijadikan pelajaran berharga bagi generasi bangsa saat ini dan masa depan. Melalui penguatan ideologi Pancasila dan kedewasaan dalam berdemokrasi, Indonesia dapat terus maju sebagai bangsa yang kuat, berdaulat, dan tidak mudah terpecah oleh isu-isu yang memecah belah. (Lines/Ghoni)