Gapurajateng | Jakarta – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, kembali menunjukkan komitmennya dalam mendorong keadilan restoratif dengan menyetujui 12 dari 13 permohonan penghentian penuntutan. pada Selasa 17 Desember 2024. Salah satu perkara yang mendapatkan persetujuan adalah kasus pencurian paket di Samarinda dengan tersangka Sukaswan alias Nanang bin Hanafiah, seorang pengambil sampah.
Kronologi Kasus
Kasus ini bermula pada 27 September 2024 saat Sukaswan, yang bekerja sebagai pengambil sampah, mengambil tiga karung di depan Kantor J&T Express Cabang Mulawarman, Samarinda. Salah satu karung berisi 37 paket kiriman pelanggan, yang kemudian dibawa pulang oleh Sukaswan. Sebagian isi paket digunakan, sementara sisanya disimpan di rumahnya.
Baca juga ; JAM-DATUN dan PT Semen Indonesia Teken Kerja Sama, Dorong Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan
Aksi Sukaswan terekam CCTV, dan pihak J&T Express melaporkannya ke kepolisian. Akibat perbuatannya, perusahaan mengalami kerugian senilai Rp5.245.445.
Namun, proses hukum ini berujung pada upaya restorative justice setelah Sukaswan mengakui kesalahannya, meminta maaf, dan bersedia mengganti kerugian sebesar Rp5.250.000 kepada pihak J&T Express. Kesepakatan damai tercapai dengan mediasi yang difasilitasi oleh Kejaksaan Negeri Samarinda.
Langkah Strategis Restorative Justice
JAM-Pidum menyatakan bahwa pendekatan restorative justice diambil karena beberapa alasan, antara lain:
– Proses perdamaian telah dilakukan dengan sukarela tanpa paksaan.
– Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
– Ancaman pidana kurang dari lima tahun penjara.
– Pertimbangan sosiologis, termasuk dampak positif bagi masyarakat.
“Restorative justice memberikan ruang bagi penyelesaian yang lebih bermakna, terutama bagi masyarakat kecil yang tersandung kasus pidana ringan,” ujar Prof. Asep Nana Mulyana.
Kasus Lain yang Disetujui
Selain perkara Sukaswan, 11 kasus lainnya juga diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. Beberapa di antaranya melibatkan kasus pencurian, penganiayaan ringan, dan penadahan. JAM-Pidum menekankan pentingnya penyelesaian berbasis keadilan restoratif untuk menciptakan harmoni sosial dan mengurangi beban sistem peradilan pidana.
Namun, tidak semua permohonan disetujui. Salah satu perkara, yaitu kasus pencurian di Bireuen, Aceh, ditolak karena bertentangan dengan nilai-nilai dasar restorative justice sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020.
Baca juga : Kasus Suap Ronald Tannur: Jaksa Agung Limpahkan Berkas 3 Terdakwa ke PN Tipikor Jakarta Pusat
Mendorong Kepastian Hukum yang Humanis
JAM-Pidum meminta seluruh Kepala Kejaksaan Negeri yang terlibat untuk segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2). Langkah ini diharapkan dapat menjadi wujud nyata penerapan hukum yang humanis dan berkeadilan, sesuai dengan prinsip restorative justice.
“Restorative justice bukan hanya tentang menyelesaikan perkara, tetapi juga membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum,” tegas Prof. Asep.
Penyelesaian 12 perkara ini mencerminkan semangat reformasi hukum yang berpihak pada kepentingan masyarakat, terutama bagi mereka yang membutuhkan solusi yang lebih adil dan manusiawi. Dengan pendekatan ini, Kejaksaan berharap mampu mendorong terciptanya ketertiban sosial tanpa mengesampingkan rasa keadilan. (Red)